Kota Parepare
Kota Parepare adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.
Kota ini memiliki luas wilayah 99,33 km² dan berpenduduk sebanyak
±140.000 jiwa. Salah satu tokoh terkenal yang lahir di kota ini adalah B. J. Habibie, presiden ke-3 Indonesia.
Sejarah
Di awal perkembangannya, dataran tinggi
yang sekarang ini disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan
semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang
agak miring sebagai tempat yang pada keseluruhannya tumbuh secara liar
tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan
kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian
rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak
Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah
tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi memancing. Wilayah
itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi
kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
Kata Parepare ditenggarai sebagian orang berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga
(1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang.
Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor
pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada
hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “(Pelabuhan
di kawasan ini) di buat dengan baik”. Parepare ramai dikunjungi termasuk
orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Kata Parepare punya arti tersendiri dalam bahasa Bugis,
kata Parepare bermakna " Kain Penghias " yg digunakan diacara semisal
pernikahan, hal ini dapat kita lihat dalam buku sastra lontara La Galigo
yang disusun oleh Arung Pancana Toa Naskah NBG 188 yang terdiri dari 12
jilid yang jumlah halamannya 2851, kata Parepare terdapat dibeberapa
tempat diantaranya pada jilid 2 hal [62] baris no. 30 yang berbunyi "
pura makkenna linro langkana PAREPARE" (KAIN PENGHIAS depan istana sudah
dipasang).
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh
tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang,
maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota
penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda
bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur
dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk
wilayah Ajatappareng.
Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber
sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda) dengan status wilayah
pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder
Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling
Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.
Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag
Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut,
struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat
pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.
Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II
yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun
1942. Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan
disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional
Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana
struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di daerah hanya
ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada
lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.
Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya
tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan
pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi
Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat
II, yaitu masing-masing Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang,
Enrekang dan Pinrang, sedangkan Parepare sendiri berstatus Kota Praja
Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti
menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA”
sampai sekarang ini.
Didasarkan pada tanggal pelantikan dan pengambilan sumpah
Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960,
maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun
1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari
1960.
Geografi
Kota Parepare terletak di sebuah teluk yang menghadap ke Selat Makassar. Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Pinrang, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru. Meskipun terletak di tepi laut tetapi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit.
Iklim
Berdasarkan catatan stasiun klimatologi, rata-rata temperatur Kota
Parepare sekitar 28,5oC dengan suhu minimum 25,6 oC dan suhu maksimum
31,5 oC. Kota Parepare beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim
kemarau pada bulan Maret sampai bulan September dan musim hujan pada
bulan Oktober sampai bulan Februari.
Waktu
Waktu yang digunakan di Kota Parepare adalah WITA atau Waktu
Indonesia bagian Tengah, yakni 1 jam lebih cepat dari waktu ibukota
negara, Jakarta dan 8 jam lebih cepat dari Greenwich Mean Time (GMT).
Transportasi
Kota Parepare bisa dicapai dengan transportasi darat atau laut. Parepare terletak di jalur utama lalu lintas ke Sulawesi Barat, Tana Toraja dan Palopo.
Pelabuhan Nusantara menghubungkan Parepare dengan kota-kota di pesisir
Kalimantan, Surabaya dan kota-kota pelabuhan di Indonesia bagian timur.
Hasil Pertanian
Hasil pertanian dari daerah pertanian Parepare adalah biji kacang mete, biji kakao, cengkeh
dan palawija lainnya serta padi. Wilayah pertanian parepare tergolong
sempit, karena lahannya sebagian besar berupa bebatuan bukit cadas yang
banyak dan mudah tumbuh rerumputan. Daerah ini sebenarnya sangat cocok
untuk peternakan.
Hasil lainnya
Banyak penduduk di daerah perbukitan beternak ayam potong dan ayam
petelur, padang rumput juga dimanfaatkan penduduk setempat untuk
menggembala kambing dan sapi. Sedangkan penduduk di sepanjang pantai
banyak yang berprofesi sebagai nelayan. Ikan yang dihasilkan dari
menangkap ikan atau memancing masih sangat berlimpah dan segar. Biasanya
selain dilelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), para nelayan
menjualnya ikan -ikan yang masih segar di pasar malam 'pasar senggol'
yang menjual aneka macam buah - buahan, ikan, sayuran, pakaian sampai
pernak - pernik aksesoris.
Walikota Parepare
Berikut Walikota yang pernah menjabat di Parepare- H. Andi Mannaungi, Walikota KDH 1960–1965
- Andi Mappangara Walikota KDH 1965-1968
- H. Andi Makkoelaoe, Pgs. Walikota KDH 1968–1969
- Drs. Andi Mallarangeng, Walikota KDH 1969–1972
- Abdullah Adjaib, Walikotamadya KDH 1972–1973
- Drs. H. Parawangsa, Walikotamadya KDH 1973–1977
- Drs. H. M. Joesoef Madjid, Walikotamadya KDH 1977–1983
- Prof. Dr. Achmad Amiruddin, Pj Walikotamadya KDH 1983-1983
- Drs. H. Andi Samad Thahir, Walikotamadya KDH 1983–1988
- H. Mirdin Kasim, SH, M.Si, Walikotamadya KDH 1988–1993
- Drs.H.Syamsul Alam Bulu, M.Si,Walikotamadya KDH 1993–1998
- H. Basrah Hafid, SH, MM, Walikota 1998–2003
- Drs. H. M. Zain Katoe, Walikota 2003–2008
- Drs. H. Andi Sulham Hasan, M.Si, Penjabat Walikota 2008-2008
- Drs. H. M. Zain Katoe, Walikota 2008-2010
- H. Sjamsul Alam, Plt. Walikota 2010-Sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar